SUARASUMBAR - JAKARTA
Meski insentif Pajak Pertambahan Nilai Di Tanggung Pemerintah (PPN DTP) terus diperpanjang untuk penyerahan rumah tapak dan rumah susun(apartemen), namun pasar hunian vertikal masih tak berdaya.
Sebagian besar pengembang juga masih menunda pembangunan proyek apartemen baru, penyerapan unit rendah dan harga sewa cenderung stabil.
Riset yang dilakukan Colliers Indonesia mengungkapkan minimnya peluncuran proyek apartemen baru berkorelasi dengan banyaknya inventory apartemen yang belum terjual yakni mencapai sekitar 27.000 unit di kuartal I-2025.
Penyerapan berada di level 87,8%, dimana dari total 162 unit yang terjual di kuartal pertama tahun ini, sekitar 90% merupakan proyek eksisting (yang sudah terbangun).
Dalam tiga tahun terakhir, yield sewa apartemen relatif stabil di besaran 4%.
Sedangkan Knight Frank Indonesia memperkirakan pergerakan transaksi apartemen masih belum agresif di 2025.
Pelemahan pasar tercermin dari 31% proyek apartemen yang menunda pembangunan. Hingga akhir 2024, dilaporkan masih terdapat banyak unit apartemen eksisting yang belum terserap pasar, mayoritas di apartemen menengah yang berlokasi di luar kawasan pusat bisnis atau central business district (CBD) Jakarta.
Menanggapi pasar apartemen yang masih lesu tersebut, Presiden Direktur Riyadh Group Indonesia, Bally Saputra Datuk Janosati mengatakan meski saat ini ada insentif PPN DTP, namun pasar belum merespons dengan baik.
Penjualan unit apartemen tidak banyak bergerak. Bahkan penyerapannya semakin menurun. Alasan itu membuat pengembang juga enggan untuk melakukan pembangunan proyek apartemen baru.
“Butuh lebih banyak stimulus dari pemerintah terutama di Jakarta agar pasar apartemen kembali bergerak. Insentif PPN DTP mungkin membantu daya beli konsumen, tetapi itu tidak cukup. Butuh keringanan dan kemudahan tinggal yang lainnya agar masyarakat kembali berminat membeli dan tinggal di apartemen,” ungkap Bally yang dihubungi, Minggu (4/5)
Menurutnya, masyarakat juga perlu diberikan kemudahan untuk tinggal di apartemen seperti tarif listrik dan air bersih rumah tangga yang ringan, penghapusan Pajak Bumi Bangunan (PBB) untuk unit apartemen seharga di bawah Rp2 miliar, serta subsidi Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) atau service charge untuk apartemen seharga di bawah Rp1 miliar.
Bally beralasan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Jawa Barat maupun Banten memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang besar dan cukup mampu untuk memberikan subsidi IPL untuk apartemen menengah dan bawah.
Asumsi Bally, kalau ada sekitar 200.000 unit apartemen yang disubsidi maksimal Rp20.000 per m2 atau maksimal Rp1 juta per unit, maka hanya butuh dana APBD sebesar Rp200 miliar setiap bulannya.
Nantinya, setelah lima tahun subsidi IPL bisa diturunkan bertahap menjadi 50% hingga masyarakat penghuni merasakan manfaat dan nyaman tinggal di apartemen, termasuk dapat menikmati biaya transportasi yang irit dan efisiensi waktu.
Dengan begitu, kata Bally, masyarakat perkotaan khususnya di Jabodetabek semakin menyukai tinggal di hunian jangkung di tengah kota daripada terus “menyingkir” ke pinggiran.
“Anggaran untuk subsidi IPL juga tidak berat, karena jika melihat SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) Provinsi DKI Jakarta setiap tahunnya hampir Rp5 triliun. Bahkan kalaupun lima tahun mendatang sudah dibangun 5 juta unit apartemen di kota termasuk di Jabodetabek, dana subsidi IPL yang dibutuhkan hanya sekitar Rp5 triliun per tahun,” ungkap Bally.
Dengan adanya stimulus dari pemerintah untuk listrik, air bersih, PBB dan IPL untuk penghuni apartemen, maka diyakini pasokan apartemen akan meningkat dan daya serap pasarnya tinggi.
Kebijakan untuk mempermudah masyarakat tinggal di apartemen sangat penting, sehingga pemerintah dapat mendorong warga kota tinggal di hunian vertikal untuk efisiensi penggunaan lahan kota bagi tempat tinggal.
Di Malaysia, budaya tinggal di apartemen sudah berhasil dilakukan pemerintah setempat dengan memberikan kemudahan tinggal.
Meskipun masyarakat di negeri jiran tersebut juga sudah terbiasa tinggal di landed house (rumah tapak) seperti halnya di Indonesia. Dengan tingginya minat untuk tinggal di apartemen, dampaknya akan membantu mengurangi kemacetan lalu lintas dan waktu tempuh lebih efisien karena masyarakat bisa berangkat kerja dengan menggunakan transportasi massal seperti MRT, LRT atau KRL.
Kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebutkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari kemacetan lalu lintas Jakarta mencapai Rp71,4 triliun setiap tahunnya dan yang paling merasakan dampak kerugian akibat kemacetan tersebut adalah masyarakat.
Program 3 Juta Rumah
Terkait dengan pembangunan 1 juta rumah di perkotaan setiap tahun yang merupakan bagian dari target Program 3 Juta Rumah, Bally menegaskan pembangunan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah di negara manapun menjadi urusan pemerintah.
Di Indonesia, Undang-Undang No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan perumahan termasuk menyediakan rumah bagi masyarakat.
Meski begitu, ujarnya, pemerintah dapat melibatkan dan mengajak bicara asosiasi pengembang untuk membantu dalam penyediaan rumah.
“Pengembang lokal mau kok membantu kalau pemerintah menyiapkan regulasinya secara sehat termasuk untuk 1 juta unit rumah vertikal di perkotaan. Tapi kalau aturan dan skimnya saja enggak jelas, bagaimana pengembang swasta mau investasi?,” ujarnya.
Menurut Bally, developer lokal sanggup untuk membangun Program 3 Juta Rumah termasuk membangun hunian di perkotaan. Karenanya, pemerintah tidak perlu susah payah mencari developer asing untuk merealisasikan target 3 juta rumah per tahun.
Yang terpenting, tegasnya, ada kesamaan visi dan misi pemerintah dan pengusaha/developer lokal untuk saling bersinergimewujudkan program mulia dari Presiden Prabowo Subianto tersebut. (**)