Di hari yang tumbuh dari langit yang tak begitu berbintang, ketika bulan menggantung malas di atas Taman Budaya yang setengah usang dan setengah direncanakan, riuh yang paling sunyi berkumpul di sebuah sudut warung kecil — yang lebih layak disebut altar diskusi daripada lapau biasa. Hari itu bukan hanya Kamis, bukan hanya tanggal 25 Juli 2025 — melainkan sebuah detik yang menunda takdir kebudayaan untuk melahirkan kembali dirinya sendiri dari abu waktu yang berserakan.
Di kota yang telah berpeluh oleh deru mesin dan kehilangan riuh pantun di pagi hari, ada segelintir manusia yang masih yakin: bahwa dunia ini bisa ditegakkan kembali dengan kata, bukan peluru. Dengan diskusi, bukan dengki. Dengan cerita, bukan cela.
Orang Minangkabau, kata orang, adalah suku kata yang hidup. Mereka tak hanya berpikir. Mereka maota—sebuah kata yang tak bisa diterjemahkan hanya dengan "diskusi". Maota adalah ritual, adalah sihir kata, adalah upacara batin dari manusia yang menggantungkan masa depan pada imajinasi.
Dan seperti biasa, segelas kopi menjadi juru azan dari ibadah pikir. Rokok yang putus sambung seperti nasib negeri ini, menjadi benang waktu yang menghubungkan yang konkret dengan yang mimpi.
Pinto Janir dan Hasnul, dua manusia dari klan kata dan layar digital, memulai perjumpaan itu bukan dengan salam formal, tetapi dengan tanya yang menyulut semesta: “Apa kabar kebudayaan kita hari ini?” Dan dalam tanya itu, segalanya meletus.
Lalu muncullah tokoh-tokoh seperti para peran dalam drama Yunani, datang satu-satu, membawa takdir dan latar belakang mereka masing-masing.
Rizal Tanjung datang bukan sebagai nama, tapi sebagai gema. Sebagai sunyi yang tahu bagaimana menggubah bahasa hingga menjadi petir. Ia bukan sekadar penyair — tapi penafsir keheningan. Ia bukan hanya aktor — tapi perasa zaman. Ia bukan hanya filsuf — tapi penyaksi dari luka budaya yang dipinggirkan oleh modernitas.
Datang juga Dadang Leona, sang peniup mantra di atas panggung. Yang jika membaca puisi, bukan hanya menyampaikan rasa, tapi menyobek dada orang yang mendengarnya dengan ayat-ayat yang membuat dada menjadi rongga gema.
Aprimas pun muncul, seperti pelukis yang datang membawa peta imajinasi. Ia bukan sekadar bekas kepala Taman Budaya, melainkan arsitek dalam membangun menara imaji untuk anak-anak yang belum lahir. Ia adalah jalan tengah antara birokrasi dan langit.
Dan di belakang semua itu, terselip seorang Jeff. Seorang pelukis yang diam-diam menyembunyikan toga sarjananya dalam pigura kanvas. Ia bukan sekadar pelukis, bukan pula sekadar pengacara. Ia adalah jembatan antara garis hukum dan garis lengkung imajinasi. Ia tahu: keadilan bisa lahir dari lukisan.
Tiba-tiba, seperti bunyi rebab di malam sunyi, muncullah Hasanawi. Seorang seniman tradisi, yang tubuhnya seperti tabuhan gendang dari masa lalu yang belum selesai. Ia tidak banyak berkata-kata, karena tubuhnya sudah menjadi teks.
Dan langit terbuka ketika Syarifuddin Arifin tiba. Ia, sang penyair Asia Tenggara — Pudin, atau If. Datang dengan gaya teateral, memanggil Pinto Janir bukan sebagai kawan, tapi sebagai Raja Penyair. Ucapan If adalah puisi itu sendiri. Ia tidak sedang bercanda ketika berkata:
"Tanpamu, kucemaskan kota ini kehilangan diksi. Kau Raja di ladang kata yang bermukim di rimba raya tahta imajinasi yang liar."
Itulah saat ketika langit Taman Budaya bersalin rupa menjadi langit kata-kata. Para penyair, pelukis, wartawan, seniman, filsuf dan pemimpi telah hadir. Mereka bukan sekadar sembilan tokoh. Mereka adalah sembilan api dari obor yang menyala dalam gua gelap kebudayaan hari ini.
Lalu maota pun melesat — bukan seperti wacana seminar, tapi seperti sungai di musim hujan: deras, membelah hening.
Mereka bicara tentang dunia. Tentang budaya yang sedang sekarat. Tentang negeri yang semakin diseret oleh algoritma tanpa akar. Mereka bicara tentang warisan tak terlihat. Tentang ruh dari rumah gadang. Tentang dendang malam yang kini tertinggal di beranda YouTube. Tentang tari yang dipelajari dari TikTok, bukan dari tubuh nenek yang mengajarkan langkah dengan nyawa.
Dan dari kegelisahan itu, lahirlah kesepakatan:
> Harus ada rumah baru bagi kebudayaan. Harus ada bahu yang menanggung warisan. Harus ada lembaga yang bukan lembaga administratif, tapi lembaga batin.
Maka, lahirlah:
Lembaga Masyarakat Budaya Minangkabau.
Konsepnya langsung disusun. Visi bukan untuk sekadar dipamerkan dalam proposal, tapi sebagai suluh di malam hari. Misi bukan sekadar untuk dicetak dalam kop surat, tapi sebagai kompas jiwa.
Dan dalam waktu sepekan, mereka juga sepakat menerbitkan media daring:
CeritaBudaya.com
Sebuah ruang tempat cerita rakyat bersua dengan reportase budaya. Tempat puisi dan penelitian bersanding seperti dunsanak di rumah gadang pengetahuan.
Peminpin redaksinya: Syarifuddin Arifin
Redaktur eksekutif: Jeff
Dewan redaksi: Pinto Janir, Hasnul
Redaktur lainnya: Rizal Tanjung, Aprimas, Dadang Leona, Hasanawi.
Sebuah konstelasi kata, imajinasi, dan pengalaman yang langka, seperti gugus bintang Minang yang mencari rasi baru di langit Nusantara.
Namun satu pertanyaan masih menggelantung di udara:
Siapa yang akan menjadi ketua? Siapa yang menjadi sekretaris? Siapa bendahara?
Jabatan adalah perihal dunia, tapi juga perihal pertanggungjawaban. Maka, untuk menjawab tanya ini, mereka sepakat duduk kembali pada hari Jumat, 26 Juli 2025, pukul 14.00 di tempat yang sama.
Semoga, lapau tetap tenang. Semoga diskusi tetap deras, tapi tidak ricuh. Semoga sebelum maghrib, sebelum langit kembali memanggil kita pada kesunyian, sudah ada nama yang dipilih bukan karena kuasa, tapi karena rasa.
Hari itu, yang mungkin tak diberitakan oleh banyak media, adalah peristiwa penting. Karena negeri ini tak hanya dibangun oleh batu dan semen, tapi oleh kata dan kenangan. Oleh lukisan dan narasi. Oleh diskusi dan keberanian untuk tidak pasrah pada zaman.
Taman Budaya yang ringkih, pada hari itu, menjadi rahim dari kebudayaan yang lahir kembali — bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai janji baru.
Mereka, para sembilan manusia itu, bukan hanya tokoh. Tapi simbol. Mereka adalah suara dari kata yang selama ini hanya berbisik. Mereka adalah gerbong dari kereta panjang sejarah Minangkabau yang tak ingin tergelincir ke jurang lupa.
Dan esai ini, hanyalah semacam peta puisi dari sebuah perjalanan awal.
Langit Padang masih menggantungkan mendung. Tapi kita tahu, dalam secangkir kopi yang dikulum di lapau itu, ada impian yang mendidih perlahan.
Dan dari sana, kebudayaan Minangkabau mungkin akan lahir kembali—seperti mentari yang tak pernah kehabisan puisi dari Timur.
Padang,2025