Oleh: Ahmad Zaki (Ketua Umum HMI Cabang Bukittingi)
Terdapat beberapa sektor publik dalam 100 hari kerja Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah dan Wakil Gubernur Vasko Ruseimy yang memiliki catatan buruk. Sektor-sektor tersebut adalah pendidikan, infrastruktur dan UMKM, yang secara branding dan pencitraan seolah-olah dilaksanakan dengan baik, namun buruk dalam kenyataan.
Kritik terhadap kinerja Gubernur Sumatera Barat ini merupakan bagian dari peran pemuda dan organisasi kepemudaan.
Di sektor pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Barat berada di angka 74,49%. Tertinggal oleh Provinsi Riau dan Kepulauan Riau yang berada di angka 74,79% dan 77,97%. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan pendidikan di ranah minang masih lamban. Karena itu, pendidikan sebagai salah satu penopang IPM membutuhkan perhatian dan tindakan kongkret.
Selain itu, persoalan lain pendidikan di ranah minang adalah degradasi moral yang menimpa generasi masa depan Sumater Barat. Kasus pelecehan seksual oleh oknum pegawai sekolah kepada siswi di SMAN 1 Sungai Geringging, dimana pelaku diduga dilindungi oleh pihak sekolah.
Terhadap kasus tersebut, pemerintah Sumatera Barat sangat lamban dalam menyelesaikannya. Padahal, kasus ini jelas melanggar Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, di mana “anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik.”
Berdasarkan kasus tersebut, pendidikan Sumatera Barat mengalami degradasi moral yang membutuhkan tindakan dan kinerja nyata Gubernur Jawa Barat, bukan sekadar omon-omon belaka.
Di sektor infrastuktur dan tata ruang, Sumatera Barat masih jauh panggang dari apa yang diharapkan oleh masyarakat ranah pinang. Gubernur beserta jajarannya disibukkan dengan pencitraan ketimbang implementasi nyata di lapangan. Seperti yang terjadi di jalan provinsi penghubung Batusangkar-Bukittingi yang kondisinya rusak dan bahkan tidak layak dilewati. Kondisi ini terjadi selama bertahun-tahun, dan ironisnya tidak ada upaya nyata untuk memperbaikinya oleh Pemerintah Sumatera Barat.
Selain itu, pembangunan Stadion Utama Sumatera Barat mangkrak selama bertahun-tahun sejak tahun 2018. Padahal, stadion tersebut dibangun oleh duit rakyat, duit yang dipungut dari pajak rakyat. Meskipun dibangun di masa pemimpin Sumatera Barat periode sebelumnya, Mahyeldi yang memimpin ranah minang sejak 2021 seharusnya memperhatikan keberlanjutan infrastruktur-infrastruktur penting yang bermanfaat untuk masyarakat Sumatera Barat.
Di sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Sumatera Barat tidak memiliki keseriusan dalam membangun dan memajukan sektor usaha rakyat ini yang sejak lama telah menjadi benteng perekonomian bangsa. Hal ini terbukti dalam 100 hari kerja Gubernur Sumatera Barat, daya beli masyarakat masih rendah, pedagang kaki lima dan UMKM banyak menjadi korban penggusuran karena ketidakbijaksanaan pemerintah provinsi serta tidak adanya program pembinaan UMKM yang dilakukan secara berkesinambungan. Jika kondisi ini tersebut berlanjut, maka menjadi alarm bahaya bagi perekonomian Sumatera Barat.
Ketiga sektor tersebut membuktikan bahwa dalam 100 hari kerjanya, Gubernur Sumatera Barat disibukkan dengan omon-omon dan pencitraan, alih-alih kerja nyata untuk melayani masyarakat dan memperbaiki nasib rakyat. Kita butuh pemimpin ranah minang yang hati, pikiran, ucapannya dan tindakannya berada pada satu frekuensi dengan rakyat. Bukan sekadar ucapan-ucapan jargonistik dan sloganistik bekerja untuk rakyat, tapi pelaksanaan di lapangan justru memunggungi kepentingan dan kebutuhan rakyat. (***)